Pendidikan Multikultural: Melampaui Toleransi, Menolak Ketimpangan
Mentari.or.id-Berbicara tentang pendidikan memang tidak hanya tentang metode pengajaran dalam pendidikan formal atau informal, setiap perkembangan zaman yang tidak diciptakan atau gagal diikuti oleh pengembang atau praktisi pedidikan menunjukkan bahwa kita memang tidak begitu serius dalam soal ini. Tema yang terkesan agak berat untuk dimuat sebagai perspektif seseorang yang sering resah dengan isu pendidikan. Kita tahu semua bahwa Indonesia adalah negeri yang dibangun di atas perbedaan. Namun ironisnya, sistem pendidikan kita masih kerap menolak keberagaman dalam bentuknya yang paling mendasar: sebagai realitas sosial yang harus dibicarakan secara terbuka, bukan disembunyikan di balik istilah “toleransi” yang semu. Di sinilah pentingnya pendidikan multikultural bukan sebagai formalitas seremonial, melainkan sebagai strategi pembebasan. Sebab perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang patut kita syukuri keadaannya.
Bukan sekedar perayaan simbolik
Kita tahu bahwa seringkali ada sebuah perayaan dengan simbul-simbul kultural, tetapi pendidikan multikultural yang sejati harus lebih dari sekadar mengenal pakaian adat saat Hari Kartini, atau menyanyikan lagu daerah dalam lomba pentas seni. Tidak sekedar itu semua, sehingga kita terlena dan kehilangan momentum untuk melihat sesuatu yang lebih substansial. Pendidikan multikultural harus menjadi alat refleksi sosial, ruang pembongkaran narasi dominan, dan sarana transformasi kesadaran. Sebab seperti dikatakan Paulo Freire, “pendidikan tidak dapat netral. Ia membebaskan atau menindas.”
sayangnya, banyak lembaga pendidikan kita masih mempraktikkan model homogenisasi, di mana suara kelompok dominan dijadikan patokan tunggal. Minoritas budaya, agama, hingga bahasa hanya hadir sebagai ‘tempelan’ di buku teks atau ilustrasi poster sekolah. Padahal, di balik narasi tunggal itulah tersembunyi ketimpangan, diskriminasi, bahkan penindasan simbolik.
Tantangan
Tokoh pendidikan multikultural James A. Banks menekankan bahwa pendekatan transformasional adalah kunci. “A transformative approach helps students to view issues from multiple perspectives and to think critically about injustice.” Tanpa keberanian untuk mendiskusikan rasisme, stereotip, dan kekerasan simbolik dalam kelas, maka pendidikan hanya akan menjadi alat pelanggeng ketidakadilan.
Guru sebagai ujung tombak serta penggerak narasi utama untuk pendidikan memiliki peran strategis. Mereka tidak boleh hanya menjadi penyampai kurikulum, tetapi juga fasilitator dialog dan pembongkar mitos. Penerjemahan kurikulum pun perlu dirancang untuk menghadirkan suara-suara yang selama ini dibungkam budaya lokal yang terpinggirkan, narasi minoritas yang terlupakan, serta sejarah alternatif yang selama ini dikaburkan.
Refleksi
Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “pendidikan adalah usaha untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.” Maka menjadi ironis jika pendidikan justru menciptakan jarak antara peserta didik dan realitas masyarakatnya yang majemuk. Pendidikan harus menjembatani, bukan memisahkan.
Lebih dari sekadar mengajarkan “toleransi”, pendidikan multikultural harus mendidik untuk keadilan. Artinya, membekali siswa untuk tidak hanya menerima perbedaan, tetapi juga membela hak-hak mereka yang berbeda. Di tengah polarisasi identitas yang makin tajam, pendidikan semacam ini adalah bentuk perlawanan bukan hanya terhadap kebodohan, tetapi juga terhadap ketimpangan yang terlembaga.
Pendidikan multikultural bukan merupakan proyek sampingan. Ia adalah inti dari misi pendidikan itu sendiri: menciptakan manusia yang utuh, adil, dan mampu menerangkan hidup dalam keberagaman tanpa takut dan tanpa prasangka.
Penulis: Fahrul Isna Arsyada (Kolumnis)